Touring Jawa – Sumatera Komunitas Vespa Ekstrem: Satu Vespa, Sejuta Saudara

Empat pemuda berkaus hitam mendorong sebuah vespa butut yang dimodifikasi secara ekstrem menyerupai mobil gerobak di Jalan Lintas Timur Sumatera atau Jalintimsum.

Mereka mendorong kendaraan di jalan yang agak menanjak di wilayah Kecamatan Muara Papalik, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi, pada Minggu siang, 8 Mei 2022.

Tampilan mobil gerobak begitu nyeleneh lantaran sarat aksesori barang bekas.

Ada botol minuman dan botol oli yang tertata rapi, saling bersambung hingga menutupi empat sisi bagian tengah kabin, yang sepintas berbentuk bak truk persegi panjang.

Sekitar 60 kilometer dari mobil gerobak tadi, Tempo kembali menjumpai dua kelompok vespa ekstrem di Jalintimsum Desa Kampung Baru, Kecamatan Batang Asam, Tanjabbar, persis di seberang Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Batang Asam.

Mereka berhenti akibat salah satu mesin mobil gerobak ngadat dan sedang diperbaiki.

Jumlah anggota komunitas vespa ekstrem di Batang Asam ini sekitar 15 orang, lebih banyak dari pegiat vespa ekstrem di Muara Papalik.

Keragaman ornamen dan banyaknya barang bawaan membuat penampilan mobil gerobak ini lebih nyeleneh dan sangar.

Lebar mobil gerobak nyaris selebar badan jalan dan bodinya bertingkat dua.

Setiap tingkat dikelilingi rajutan tali mirip paranet maupun jaring.

Rajutan tali bersimpul pada delapan tiang bambu dan ada satu tiang kayu.

Potongan terpal dan spanduk lusuh dipakai untuk menutupi bagian atas “kabin penumpang”.

Berjejal barang-barang bekas di setiap lantai.

Gitar, ban dalam dan ban luar vespa, galon air minum, jeriken, contong atau basung plastik, ember, tandu berayun alias tempat tidur gantung (hammock), kerucut lalu lintas (traffic cone), ratusan botol air mineral, serta dua unit vespa yang ditaruh di masing-masing mobil gerobak, lengkap dengan peralatan bengkel dan onderdilnya.

Ujung bambu yang tersisa ditutupi kerucut lalu lintas, sekaligus menjadi tiang umbul-umbul aneka warna.

Terdapat pula beberapa tulisan pada umbul-umbul maupun bodi, antara lain “Balungan Kere”, “wes tau jeru”, “Columbus”, dan “Scooter Payah Tatto Jawa Sumatra”.

Ada pula tiga monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), yang menurut mereka, pemberian penduduk lokal.

Seorang anggota komunitas vespa ekstrem, Acing mengatakan, masyarakat sering mencap negatif karena penampilan mereka yang kumuh dan bertato.

Mereka sering dianggap suka mengganggu ketertiban masyarakat dan membahayakan keselamatan pengguna jalan.

Acing mengaku heran kepada siapa saja yang dengan mudah menghakimi mereka.

Padahal, Acing menegaskan, mayoritas anak vespa ekstrem tahu tata krama di jalan dan bersikap baik kepada masyarakat.

“Kami biasa saja menyikapi semua stiga negatif itu.

Enggak dendam,” kata Acing, pemuda asal Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Acing mengatakan, mereka berangkat dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat, lima bulan lalu.

Tidak semua anggota rombongan berangkat dari titik keberangkatan yang sama.

Daerah asal mereka juga beragam.

Selain Karawang, ada anggota rombongan yang berasal dari Magelang seperti Acing, Subang, Jakarta, Tangerang, Jambi, Bengkulu, dan Pekanbaru.

Kendati berangkat lima bulan lalu, ada anggota yang sudah “mengaspal” selama satu tahun.

“Kebetulan kami berketemu di jalan.

Kami saling menyapa, lalu kalau ada yang mau ikut, kami tidak melarang,” kata Aciong.

“Bertambah teman, sodara.

Makanya ikutlah mereka jalan-jalan berlebaran di sepanjang jalur Jawa – Sumatera.

Begini kami membangun solidaritas.” Komeng menambahkan penjelasan Acing.

Pemuda asal Jambi ini mengikuti rombongan vespa ekstrem sejak dari Merlung dengan membawa vespa gembel sendiri.

Komeng tahu betul perjalanan rombongan vespa ekstrem itu tidak punya tujuan khusus, kecuali jalan-jalan mencari jati diri, pengalaman, dan persaudaraan.

Setiap anggota rombongan boleh turun di mana saja atau tetap bersama rombongan.

“Kami bisa mengenal kawan-kawan senasib di jalan yang berasal dari beragam daerah,” ujar Komeng.

“Moto kami ‘satu vespa sejuta saudara’.

Itu sebabnya ikatan solidaritas kami sangat kuat.” Bentuk solidaritas itu dibuktikan Komeng dengan membiarkan siapa pun anggota rombongan menggunakan vespa miliknya untuk tujuan yang jelas, terutama buat belanja logistik.

Maklum, Komeng dan semua anggota rombongan harus pintar berhemat fulus.

Komeng beberapa kali bergerak mencari bantuan untuk memperbaiki mesin vespa, membeli BBM, belanja makanan dan minuman, atau keperluan lain.

Vespa menjadi andalan karena rombongan vespa ekstrem itu tak punya kendaraan siaga, kecuali satu mobil gerobak yang harus dihemat bahan bakarnya.

Umumnya mobil gerobak berjalan lambat di jalan datar; kepayahan melaju dan bermanuver di jalan berkontur turun naik, bergelombang, dan rusak.

Penyebabnya tiada lain kondisi mesin yang renta, lebar bodi gerobak yang hampir selebar badan jalan, plus lantai gerobak yang cuma setinggi 20 sentimeter atau kira-kira sejengkal tangan orang dewasa dari permukaan aspal, sehingga gampang tersangkut batu, tonjolan aspal, batu besar atau benda keras lainnya.

“Kami bisa agak ngebut kalau kondisi jalan datar dan mulus,” ucap Komeng seraya berkata sudah terbiasa terperosok di jalanan berlubang dalam.

“Di situ keseruannya,” tuturnya sambil tertawa.

Perbaikan mesin rusak dilakukan oleh tiga anggota rombongan.

Mereka kompak dan teliti.

Salah seorang di antaranya mengaku bukan mekanik.

Kemampuan memperbaiki mesin dipelajari secara autodidak.

Terkadang, saat kerusakan mesinnya berat, mereka menelepon pegiat vespa ekstrem yang mahir memperbaiki mesin untuk meminta tolong.

“Di internat banyak tutorial servis mesin vespa dan kendaraan lain.

Terkadang saat kumpul-kumpul, kami juga diajari kawan yang jago mesin.

Kalau ada onderdil yang kurang, kami bergotong-royong mencari atau membelinya,” ujar anak muda bertopi terbalik.

Gotong royong merupakan kata kunci kekuatan solidaritas mereka.

Acing dan Komeng mengaku membawa sedikit uang.

Begitu pula dengan anggota rombongan lainnya.

Mereka berpatungan semampunya, minimal sekadar untuk membeli minuman.

Tatkala hampir kehabisan duit, mereka biasa mengamen pakai gitar dan meminta sumbangan di jalan.

Uang hasil sumbangan buat membeli rokok, biskuit dan camilan lain, tiga minuman kemasan, dan lainnya.

Mereka tidak berebutan, semua dapat bagian.

“Makanan segini memang tak bikin kenyang, tetapi kami juga tidak kelaparan.

Kami bisa tidur di mana saja, terbiasa enggak makan dan terbiasa menahan lapar.

Kami bukan orang-orang yang lemah dan gampang menyerah,” ucap Komeng.

Komunitas vespa ekstrem ini bertekad melanjutkan tur panjang hingga ke Kota Sabang di Kepulauan Weh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Ada sedikit keraguan saat mengetahui Pemerintah Aceh memberlakukan peraturan daerah atau qanun tentang pelaksanaan syariat Islam sejak tahun 2000.

Namun, mereka bergeming hendak ke sana.

Mereka optimistis perjalanan mereka lancar-lancar saja sampai Sabang karena bukan kelompok berandalan.

Paling-paling nanti mereka disetop polisi karena ketidaklengkapan surat-surat kendaraan atau lantaran kendaraan mereka dinilai melanggar standar persyaratan teknis di jalan raya.

“Ini jalan hidup kami.

Kami tidak mengganggu siapa pun dan tidak mau diganggu.

Penampilan kami memang gembel, tetapi kami bukan koruptor, bukan kriminal,” kata Komeng.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *